Dalam dunia yang serba cepat dan penuh opini seperti hari ini, kecenderungan untuk menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an berdasarkan perasaan pribadi atau "feeling" belaka semakin marak, terutama di media sosial. Padahal, tafsir bukan sekadar soal membaca dan merasa, melainkan ilmu yang dibangun atas dasar metode, kedalaman, dan tanggung jawab. Al-Qur’an adalah teks suci yang kompleks, penuh simbol, dan lahir dalam konteks sejarah yang kaya. Oleh karena itu, mendalaminya menuntut bukan hanya niat baik, tapi juga landasan keilmuan yang kokoh.
Ilmu tafsir mengajarkan bahwa untuk memahami ayat, seseorang perlu mengetahui ilmu bahasa Arab, ilmu balaghah (retorika), asbabun nuzul (sebab turunnya ayat), hingga ilmu hadis dan fiqih. Ulama terdahulu tidak sembarangan dalam menafsirkan; mereka menghabiskan waktu bertahun-tahun untuk memahami struktur teks dan konteks sosialnya. Jika hari ini tafsir dilakukan hanya berdasarkan rasa pribadi atau asumsi instan, maka risiko penyimpangan makna akan sangat besar. Bahkan, bisa menyesatkan jika ayat dijadikan pembenaran terhadap kepentingan pribadi atau kelompok.
Lebih dari itu, pendekatan "feeling" dalam tafsir seringkali menjauhkan kita dari substansi pesan ilahi. Feeling bisa berubah, bias, dan sangat subjektif—sementara pesan Al-Qur’an mengandung nilai universal yang harus diungkap melalui pendekatan yang bertanggung jawab. Tafsir yang berlandaskan ilmu tidak menutup ruang spiritualitas, justru memperkuatnya. Karena dengan ilmu, pemahaman kita terhadap ayat menjadi lebih jernih, dan dengan pemahaman yang jernih, rasa takjub dan kekaguman kepada Tuhan pun menjadi lebih dalam dan terarah.
Maka dari itu, penting bagi umat Islam hari ini untuk kembali menempatkan ilmu sebagai fondasi utama dalam mendalami Al-Qur’an. Tafsir mimpi44 bukan ruang spekulasi bebas, tapi ruang dialog antara teks, ilmu, dan kesadaran manusia. Belajar dari para mufassir besar seperti al-Tabari, al-Razi, atau Sayyid Qutb, kita menyadari bahwa proses memahami wahyu adalah perjalanan panjang yang butuh kerendahan hati dan ketekunan. Tafsir dengan ilmu bukan sekadar bentuk kecerdasan, tapi juga bukti cinta dan hormat kita kepada Al-Qur’an sebagai pedoman hidup.